Google+

Where is My Star ?

3

Where is My Star

By: Kim Yunha

Pranng!

Suara itu mengagetkanku. Piring-piring yang baru saja kucuci sekarang sudah menjadi serpihan-serpihan kaca yang tergeletak di lantai. Aku ingin marah pada orang yang membuat piring-piring itu pecah, tapi aku juga takut dimarahi oleh pemilik piring-piring itu. Aku bingung. Apa yang harus kulakukan? Tidak mungkin aku menyembunyikan serpihan-serpihan itu sekarang. Karena semua orang yang ada di rumah yang kutempati ini telah melihat kejadian itu. Kalau aku jujur, nanti kena marah.

“Ya ampun! Felice! Ada apa ini? Kok bisa pecah semua?” Tanya Tante Rica dengan amarahnya yang hampir menyamai letusan gunung merapi. Aku sangat terkejut mendengar pertanyaan yang penuh amarah itu. Mulutku ingin menjawab pertanyaan yang bertubi-tubi itu. Namun, entah kenapa yang keluar hanya “A… E…” yang tidak menjelaskan duduk permasalahan yang sebenarnya.

“Gini lho, Ma! Tadi kan aku cuma mau bantu dia cuci piring, terus dia nggak ngebolehin. Tapi aku tetap ngotot mau bantu dia, aku kan kasihan ngelihat dia kerja dari pagi sampe malam. Eh, dianya malah marah! Terus dia ngebantingin piring-piring itu!” jawab Shila yang sangat-sangat tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Padahal kan dia sendiri yang memcahkan piring-pirng itu. Aku ingin sekali membantah semua yang dikatakan Shila, tapi saat ini aku belum mempunyai cukup keberanian untuk itu.

“Kok kamu kayak gitu sih, Fel?! Kenapa kamu nggak biarin Shila bantuin kamu?” Tanya Tante Rica lagi. Semua orang terdiam menunggu jawabanku. Tapi entah kenapa mulutku tak bisa menjawab pertanyaan itu. “Felice Emeralda! Jawab pertanyaan tante!” bentak tante Rica dengan sangat-sangat marah.

“Ma! Sudah, Ma! Kelihatannya Felice sedang shok. Ayo kita pergi!” bujuk Oom Andi pada istrinya. “Felice! Lain kali jangan diulangi lagi, ya! Sekarang kamu bersihkan ini semua! Shila! Kamu tolong Felice, ya!” katanya lagi dengan lembut. Aku hanya menjawab dengan anggukan dan mulai memungut pecehan-pecahan kaca itu. Tapi, Shila malah ngeloyor mengikuti keluarganya.

Ehm… aku sudah mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini. Shila memang selalu seperti ini padaku. Sepertinya ia tidak menyukaiku. Mungkin karena aku anak yatim piatu yang tinggal di rumahnya dan sepertinya ia takut aku merebut kasih sayang orang tuanya. Padahalkan aku tidak pernah berniat seperti itu. Sebenarnya aku tinggal di sini bukan karena aku yang mau. Tapi karena Tante Rica dan Oom Andi yang ngotot. Katanya mereka ingin merawat anak sahabat mereka yang telah membuat hidup mereka berubah. Ya… hitung-hitung balas budi. Karena aku nggak tahu mesti ngapain, akhirnya aku menerima tawaran ini. Nah, jadilah sekarang aku tinggal disini bersama orang-orang yang karakternya sangat-sangat berbeda plus aneh banget.

“Ma! Tahu nggak, kenapa tuh anak nggak ngebolehin aku ngebantuin dia?” aku mendengar suara Shila dari ruang keluarga.

“Nggak tahu! Memangnya kenapa, sayang?”

“Karena, tuh anak lagi CAPER! Cari perhatian Mama sama Papa! Kalo aku bantuin, ntar dia nggak dipujikan sama Mama dan Papa.” Jelas Shila yang sangat membuatku panas. Abis, itu sama sekali nggak bener. Apa gunanya coba? Mending juga kalo alasannya aku mau CAPER sama si Joe, kakaknya itu. Tapi nggak lah ya…! Cowok cuek kayak gitu bukan tipe aku.

“O… jadi begitu! Apa masih kurang perhatian dari Mama dan Papa ke dia?! Dasar tamak!”

“Ma…! Jangan berpikir seperti itu dulu. Mungkin bukan itu alasannya. Siapa tahu dia nggak tega kan melihat Shila mencuci piring. Karena selama ini, Shila nggak pernah kan melakukan pekerjaan seperti itu.

“Tapi, Pa…”Shila berusaha membela diri. Namun belum sempat ia melakukan pembelaan, kata-katanya sudah dipotong oleh kakaknya.

“Shila! Lo tuh kenapa sih? Kayaknya sewot aja ama tuh anak! Emangnya dia salah apa sama lo? Perasaan dia baik-baik aja tuh sama lo!”

“Alah…! Sok alim lo! Padahal lo juga sering marah-marahkan sama dia! Marah-marah nggak jelas!”

“Eh! Gue cowok! Wajar aja kalo gue sering marah-marah sama cewek! Gue juga nggak pernah tuh baik-baik sama lo! Itu udah sifat gue, Bego!” kata Joe mengemukakan alasannya yang sama sekali nggak logis seperti kata dia. Setelah mengatakan itu semua, ia pergi berlalu ke kamaranya. Dasar anak nggak sopan! Padahal Papanya manggil-manggil dari tadi, tapi dianya malah tetap geloyor ke kamar. Dasar anak jaman sekarang!

“Hhh… ya sudahlah! Sekarang semuanya tidur!” perintah Oom Andi pada anak dan istrinya. Setelah itu semua lampu dirumah dipadamkan, kecuali lampu-lampu kecil dan lampu yang berada di luar rumah.

Tadinya aku udah hampir sampai di dunia mimpi, tapi tiba-tiba terdengar suara sesuatu benda yang diketuk-ketuk, berhenti, lalu terulang lagi. Awalnya aku merasa itu adalah bel tanda aku sudah mulai memasuki gerbang dunia mimpi, namun sekarang aku sadar, bahwa suara itu sudah membawaku kembali ke dunia nyata. Mataku yang tadinya sudah tetutup, sekarang melek lagi. Aku bangun dari tempat tidurku, dan memasang pendengaranku tajam-tajam. Namun yang tedengar hanya suara binatang-binatang malam. Hooo! Ternyata salah sodara-sodara! Suara itu terdengar kembali. Dan ternyata suara itu berasal dari pintu.

“Siapa, ya…?” tanyaku dengan mengumpulkan segenap keberanian.

“Ini Tante, Felice! Bukain pintunya donk, sayang! Ada yang mau Tante omongin nih!” jawab Tante Rica yang berasal dari balik pintu. Lalu aku membuka pintu dengan penuh tanda tanya.

“Ada apa, Tante? Kok malem-malem gini? Emang nggak bisa besok aja, Tante?”

“Nggak bisa, sayang! Ini harus Tante katakan malam ini juga. Karena Tante nggak mau kamu marah sama Tante.”

“Marah? Marah kenapa Tante?”

“Gini lho, sayang! Tadi kan Tante udah marah-marah sama kamu. Tante jadi nggak enak! Kamu mau kan maafin Tante?”

“Lho! Seharusnya kan aku yang minta maaf sama Tante, kan aku yang udah mecahin piring-piring itu. Maafin aku ya, Tante?”

“Iya, nggak apa-apa! Tente tahu kok, pasti tadi kamu nggak sengaja. Tadi itu tante marah karena, lagi kebawa emosi dan kamu tahukan kalo kata-kata Shila nggak diturutin, dia bakal ngamuk. Jadi, siapa yang salah itu bukan masalah, yang penting kita saling memaafkan. Ya udah, selamat tidur ya, sayang! Semoga mimpi indah! Tante tidur dulu ya…!” tante Rica menutup pintu dengan senyuman tanda berpisah. Di balik pintu, ia tersenyum. Entah apa alasannya ia tersenyum. Yang jelas senyum itu menandakan sesuatu yang aku nggak tahu.

Aku melanjutkan tidurku yang terganggu. Dan sekarang aku sudah benar-benar berada di dunia mimpi.

Au! Aku kenapa? Sakit! Semua tubuhku sakit! Apa yang terjadi padaku? Mana Mama, Papa dan Kak Aji? Mereka kok nggak nolongin aku sih? Mereka ada dimana? Ya Allah, dimana mereka? Kenapa aku tinggal sendiri? Perasaan, tadi kami bersama-sama sedang main arung jeram. Tapi, sekarang aku kenapa? Oh… iya! Kejadian itu… lalu mereka bagaimana? Tidak! Jangan-jangan! Aku sudah mau menghadap-Nya. Ya Allah biarkan aku bertemu mereka dulu! Aku mohon Ya Allah!

“Hei di sana ada satu orang!” sayup-sayup terdengar suara bapak-bapak yang sepertinya menunjuk ke arahku. Lalu tiba-tiba segerombolan orang datang mengangkatku. Dan… akhirnya semua menjadi gelap. Cahaya matahari yang tadinya masih sedikit terlihat, sekarang telah lenyap entah pergi kemana.

Sekarang benar-benar sangat gelap. Aku berjalan entah kemana. Mungkin menuju suatu tempat yang tidak sama sekali kuketahui. Lalu aku melihat wajah Mama, Papa dan Kak Aji. Mereka tersenyum padaku, namun mereka meninggalkanku begitu saja. Aku berusaha memanggil mereka, tapi mereka tidak menoleh sedikit pun. Tiba-tiba aku membuka mata. Dan aku mendapati diriku terduduk di atas ranjangku dengan tubuh bermandikan keringat.

“Allahu Akbar! Lagi-lagi mimpi itu terulang! Ya Allah! Aku nggak mau mengingat kejadian itu lagi! Apa maksud dari semua ini?” ratapku ketika aku terbangun dari mimpi yang sangat mengerikan dan tak ingin kuingat! Tak lama kemudian, terdengar suara adzan subuh. Langsung saja aku ke kamar mandi dan mengambil air wudhu. lalu kumengadu pada yang Maha Kuasa.

***

“Hai Nick! Kenapa lo? Senyam-senyum sendiri? Salah makan ya…? Tanyaku pada sobatku yang super dupel centiiiil abis. Sebenarnya aku nggak tahu kenapa dia mau jadi sahabatku, karena aku sama dia tuh beda jauh banget. Aku ini bisa dibilang seorang cewek jilbaber yang cuek banget sama cowok. Tapi dia, cewek yang gaul abiis, terus hobi banget PDKT sama cowok-cowok keren. O… ya! Yang kutahu dulu kita deket karena aku adik angkatnya Joe. Secara dia ngefans banget sama Joe. Aku bingung deh! Kenapa sih banyak banget cewek-cewek yang suka sama dia? Padahalkan dia cuma menang tampang doank. Tingkah lakunya, i…h! Amit-amit deh! Suka nyolot! Sombong banget lagi! Emang dia pikir, cuma dia apa cowok di dunia ini! Salah! Masih banyak kali! Eh, kenapa jadi ngomongin dia? Nggak sudi! Kita kembali ke Nicky. O… ya, satu lagi! Nicky ini cewek lho, dia bukan gay! He…he…he…

“Hhm…! Hari ini, pasti ulangan fisika gue lebih tinggi dari lo! Pasti!”

“Waduh! Lo bener-bener salah makan ya? Ngomongnya kok jadi ngelantur kayak gini sih?”

“Enak aja! Gue nggak ngelantur, kale! I’m serious!

“Hhh! Tumben banget lo yakin kayak gitu! Abis dapet mantra dari dukun mana lo?”

“Dasar lo! Eh! Gini-gini gue juga tahu agama kale!”

“Terus, kenapa?”

“Mulai dari hari ini gue bakal belajar dengan sungguh-sungguh. And now, I have private lesons with my brother!

Private? Widih! Udah mulai serius nih! Boleh-boleh! Gue terima tantangan lo! Oh… iya! Buy the way, emang lo punya brother?”

“Ya… sama deh sama lo, kakak angkat. Ganteng lho orangnya! Hampir aja gue jatuh cinta pada pandangan pertama sama dia. Tapi karena waktu itu gue pengen punya kakak, ya… nggak jadi deh jatuh cintanya.”

“Kok lo nggak pernah cerita sama gue?! Jadi penasaran gue!”

“Nah, lo! Ngakunya cuek sama cowok, tapi penasaran sama kakak gue!”

“Ye… orang gue cuma penasaran aja! Nggak pake embel-embel lainnya!”

“Huuu! Bo’ong lo! Ya udah deh gue certain. Jadi gini…”

Teeet! Teeet! Teeet!

“Eh, udah bel! Nanti aja gue certainnya! And now, let’s go to fight!

OK! Let’s go!”

 

***

           

Waktu istirahat sudah tiba. Nah saatnya aku mendengar cerita Nicky tentang kakak angkatnya itu. Aku penasaran bukan karena kakaknya itu ganteng atau apa, tapi karena entah kenapa di hatiku berharap kalo cowok itu adalah Kak Aji. Agar ngobrolnya lebih asik, kita milih tempat di kantin sekolah. Walaupun ributnya nggak ketulungan, tapi di sana aman. Karena nggak kan ada yang nguping, abis semua orang sibuk dengan aktifitas masing-masing. Sebelum cerita, kita beli makanan dulu supaya nggak bosen.

Ni, lotek duo jo es teh manisnyo duo juo!” kataku memesan makanan dengan bahasa daerah asalku ini, yaitu Padang, Sumatra Barat.

Aman se tuh! Dima duduak? Beko Ni antaan!

Hmm… di suduik tu ha Ni! Makasi, Ni!”jawabku sambil berlalu ke meja yang kutunjuk.

“Ayo mulai ceritanya!” kataku setelah kami duduk sambil mebuka bungkus keripik ubi yang ada di meja itu.

“Jadi gini, sebulan yang lalu ada seorang cowok yang berdiri di depan UNAN (UNIVERSITAS ANDALAS), kampus bokap gue. Dia sama sekali nggak tahu tentang dirinya, ya… amnesia gitu. Yang dia tahu cuma namanya, itu pun pemberian dari orang yang pernah nolongin dia dulu . Dia berdiri di situ dengan tubuh penuh perban dan plasteran.. Karena bokap gue kasihan, dia dibawa ke rumah sakit. Dan setelah itu dia diangkat deh jadi anak sama bokap. Terus dikuliahin, tahu-tahu otaknya encer, belum apa-apa, dia udah diangkat jadi AsDos. Awalnya gue kurang suka sama dia, abis hobi banget ngerecokin penampilan gue! Roknya kependekanlah, bajunya keketatanlah, pokoknya nyebelin banget! Tapi, kemaren gue sadar kalo sebenarnya dia tuh baik!” jelas Nicky panjang lebar.

“Emangnya kemaren kenapa?”

“Kemaren itu gue mati-matian belajar fisika sendiri. Karena gue takut kena marah bokap lagi. Tapi nggak ada yang masuk sama sekali. Eh, tiba-tiba dia udah di depan pintu kamar gue, terus nawarin diri buat ngajarin gue. Karena gue lagi pusing banget, ya udah gue terima aja. Nggak tahu kenapa, waktu itu gue ngerasa gue lagi ditolong sama seorang kakak yang bener-bener kakak.”

“Ehm… Nick! Gue boleh ketemu sama kakak lo nggak?” tanyaku takut-takut. Aku takut Nicky mikir yang nggak-nggak. Selama ini Nicky nggak tahu apa yang terjadi pada hidupku. Jadi nggak mungkin Nicky kepikiran niatku buat ngecek apakah kakak angkatnya itu Kak Aji, Kakak kandungku yang tidak diketahui dimana keberadaannya.

“Chieee, Felice! Belum ketemu aja udah kesemsem gitu, gimana kalo udah ketemu?” tuh kan nih anak mikir yang nggak-nggak.

“Bukan gitu! Gue cuma penasaran kok!” kataku berusaha membela diri.

“Penasarannya karena kesemsem kan?” goda Nicky

“Apaan sih lo! Dibilangin nggak ya nggak!”

“Ya udah deh ntar balik sekolah ya…! Tapi, kalo lo kesemsem, nggak apa-apa kok, Lice!”

“Nicky…!” ketika sedang rebut-ribut begitu, Uni yang jaga kantin datang mambawa pesanan.

***

“Huuuh! Sebeeel! Udah jauh-jauh ke rumah Nicky buat ketemu kakaknya, eh… orang yang dicari malah nggak ada.!” Rutukku kesal ketika melewati jalan menuju ke rumah. Inilah salah satu kebiasaanku. Aku pergi dan pulang sekolah sendiri. Pergi naik bus kota, pulang juga begitu. Sayangnya, bus kota cuma mau berhenti di halte bus. So, aku harus jalan dulu kesana. Ya… nggak jauh-jauh amat sih! Tapi kan capek juga!

Nde…! Paneh garang bantuak iko melamun se…! dek a… tu, Fel?” Tanya salah seorang ibu-ibu muda yang rumahnya tepat berada di samping rumah Oom Andi.

E… Etek! Ma lo wak melamun?” jawabku yang sedikit bercanda dan cukup ramah.

Hmm… ndak melamun do…?” canda ibu itu lagi.

Sadang manga, Tek? Sibuak bana bantuaknyo. Paralu lo wak Bantu?” tanyaku basa-basi.

Nde… manyapu se babantu lo, usah min lah! O… iyo, Lice! Tadi ado urang manitipan iko. Untuak awak cek nyo!” katanya seraya memberikan sebuah amplop padaku.

Untuak awak? Makasih yo, Tek!” aku mengambil amplop itu dengan bingung. Tapi aku masukin aja ke tas. Saat ini, aku nggak mau mikrin itu dulu, abis aku capek banget. Sekarang yang ada di benakku cuma… TIDUR! “E… wak  pulang lu, Tek! Assalamu’laikum!” pamitku.

“Walaikumsalam!”

Sampai di rumah aku langsung mengganti bajuku dan tidur siang sebentar. Mumpung lagi nggak ada kerjaan, mending istirahat kan? Tapi, belum sempat aku mejemin mata, ada aja yang manggil-manggil aku. Nggak bisa ngeliat orang seneng apa?

Gila…! Ternyata yang manggil itu si Joe! Ada apaan sih? Tumben-tumbenan banget tuh anak manggil aku. Duuh! Kenapa firasatku jadi nggak enak ya…? Nggak tahu ah! Mending aku samperin aja biar nggak penasaran. Widih! Kok rame banget sih? Ada apaan ya?

“Kok rame banget sih, Joe?” tanyaku bingung.

“Nggak usah banyak Tanya deh! Buatin minum sana!” perintahnya padaku yang sangat-sangat tidak sopan. Kurang ajar banget sih nih orang! Emang dia kira aku ini babunya apa? Seenaknya aja nyuruh-nyuruh! Tapi karena aku orangnya baik, ya udah aku tolongin aja dia buatin minum buat temen-temennya. Mungkin dia nggak bisa bikin minum, makanya minta tolong sama aku. He…he…he…

Aku meletakkan gelas-gelas dan satu teko sirup jeruk di meja taman. Tanpa menegur sedikit pun, aku berbalik menuju kembali ke rumah. Namun langkahku terhenti ketika terdengar suara yang mencegatku.

“Eh, sekarang Shila pake jilbab ya?” Tanya suara itu padaku. Aku berbalik ke arah suara itu untuk memperlihatkan wajahku. Supaya nggak dikira Shila. “Lho, bukan Shila! Kirain Shila! Pembantu baru lo, Joe?” Apaaa?! Dia bilang aku pembantu?! Kurang ajar baget sih nih orang! Masa wajah cantik gini dibilang pembantu! Seharusnya dia tuh bersyukur bisa ketemu sama aku! Jarang-jarang lho, cowok bisa ngelihat wajahku yang cantik ini! Kalau pun ada! Tuh cowok udah beruntung banget!

“Hhh… iya!” jawab Joe dengan sangat-sangat senang. What? Nih orang mau aku pites apa? Udah tadi merintah-merintah nggak sopan! Sekarang malah bilang aku pembantu!

“Eh…! Siapa yang pembantu?! Kurang ajar banget sih lo! Udah untung gue tolongin! Eh malah ngina bukannya terimakasih!” bentakku marah pada Joe! Tapi sayangnya tuh anak kayaknya bolot deh! Abis, dimarahin bukannya minta maaf, malah ketawa-ketiwi! Awas aja lo!

“O… jadi bukan pembantu?” Tanya teman Joe yang tadinya mengiraku Shila lalu mengataiku pembantu.

“Ya iyalah bukan! Enak aja!”

“Ehm… kalau gitu siapa nih namanya? Kenalan donk! Gue…” terdengar mereka menyebutkan nama mereka masing-masing. Dasar cowok! Nggak bisa ngeliat cewek cantik dikiiit aja! Mungkin kalau aku ini pembantu, tetap diembat juga! Tapi aku pun menyebutkan namaku. Namun, aku terdiam di salah seorang teman Joe yang bernama Gilang. Entah kenapa rasanya ada sesuatu yang berbeda. Aku merasa aku kenal dengan suaranya dan sorotan matanya itu. Tapi perasaan, aku nggak pernah ketemu cowok yang wajahnya seperti dia. Kenapa ya? Jadi bingung sendiri.

Aku kembali ke kamarku. Rencanaya sih mau tidur, tapi mataku bukannya merem, malah melirik ke tas sekolahku. Aku merasa melupakan sesuatu yang penting. O… iya! Amplop yang tadi belum aku buka! Apa ya isinya? Aku membuka tasku dan mengambil sebuah amplop putih yang tadi dititipkan pada tetanggaku. Aku membaca isinya dan…

“HAAAH! Astaghfirullah hal’Azhim!” Aku sangat terkejut dan sangat shok! Aku tidak bisa menerima ini semua! “Nggak! Mereka nggak boleh kayak gini! Aku harus ke kantor polisi pulang sekolah besok! Ya Allah! Tolonglah hambamu ini, Ya Allah! Hamba mohon!” ratapku setelah membaca surat itu.

***

 

“Pak! Ini nggak bisa dibiarkan! Evakuasi harus tetap berjalan, Pak! Bagaimana saya bisa menemukan kakak saya, jika hanya saya sendiri yang mencari?! Daerah itu sangat luas, Pak! Saya nggak mungkin bisa!” bentakku pada seorang polisi yang menangani kasus yang kuhadapi. Dialah orang yang mengirimkan surat kemarin yang menyatakan pengevakuasian kakakku tidak bisa dilakukan lagi. Intinya, kasus ini ditutup begitu saja. Padahal, aku merasakan sesuatu yang janggal!

“Tenang, Dik! Kita bicarakan secara baik-baik!”

“Giamana saya bisa tenang, Pak?” bentakku lagi seraya duduk di kursi yang telah disediakan. “Pak! Kasus ini nggak bisa ditutup begitu saja! Evakuasi ini harus tetap dilanjutkan!”

“Dik! Kami sudah berusaha selama dua bulan ini. Namun hasilnya tetap saja nihil! Karena itu kasus ini ditutup.” Tegas polisi itu dengan sangat sabar dan berwibawa. Tapi aku sama sekali tidak puas dengan alasannya itu. Aku ingin kakakku ditemukan, baru mereka boleh angkat tangan. Karena kasihan melihat wajahku yang pasrah dan sedih, polisi itu menghiburku. “Dik! Kemungkinan bahwa kakak anda telah meninggal memang besar. Namun, kemungkinan kakak anda masih hidup itu juga ada! Coba Adik pikirkan! Jika mayatnya tidak ditemukan di TKP dan di sepanjang sungai, berarti ia berjalankan kan? Itu tandanya ia masih hidup! Saya yakin! Kakak anda masih hidup dan masih berada di sekitar kota Padang ini! Saya sangat yakin itu!”

Aku pulang setelah mendengar perkataan polisi tadi. Apa yang ia katakan tadi memang benar. Kemungkinan bahwa kakakku masih hidup juga ada. Walaupun para polisi sudah menutup kasus ini, tapi aku tak akan menyerah! Aku akan terus mencari keberadaan Kak Aji! Aku terduduk di halte bus. Aku bingung bagaimana caranya aku bisa terus mencari Kak Aji tanpa bantuan polisi? Tidak mungkin aku menjelajahi Kota Padang yang sangat luas ini! O… iya! Aku belum bertemu dengan kakak angkatnya Nicky! Semoga saja ia adalah Kak Aji! Aku sudah sangat merindukannya.

Langsung saja aku naik bus kota yang rutenya menuju ke arah rumah Nicky. Untung saja aku masih mendapat tempat duduk. Karena banyak sekali penumpang yang naik, sehingga ada yang hanya bisa berdiri sambil berpegangan pada tiang-tiang yang memang disediakan untuk para penumpang yang tidak kebagian tempat duduk. Setengah perjalanan sudah ditempuh oleh bus kota yang kutumpangi ini. Nah, saat berada di Halte lain yang kulalui menuju rumah Nicky, ada seorang ibu-ibu masuk dengan membawa belanjaan yang sangat banyak. Sepertinya ia habis ngeborong di pasar dan pastinya capek banget tuh. Karena kasihan, aku mempersilahkan tempat dudukku untuknya.

“Makasih ya, Nak! Jarang sekali ada anak yang baik seperti kamu ini.” katanya padaku dengan logat Padang yang sangat kental.

“Oh… sama-sama, Buk!”

“Ibu jadi teringat pada anak muda yang dua bulan lalu tinggal di rumah Ibu. Tubuhnya penuh luka-luka dan ia lupa ingatan. Karena Ibu kasihan, ibu merawatnya. Ternyata dia anak yang baik. Ibu jadi menganggap dia sebagai anak sendiri.” Lalu Ibu itu bercerita tentang kebaikan pemuda itu. Lagi-lagi aku merasa bahwa itu adalah Kak Aji.

“Ehm… Bu! Cirri-ciri laki-laki itu bagaimana?”

“Lho, kok kamu nanya gitu?” Tanya ibu itu heran.

“E… jadi gini, saya lagi mencari kakak saya yang hilang. Udah dua bulan ini saya mencarinya. Tapi nggak ketemu. Makanya saya pikir mungkin pemuda yang Ibu bilang adalah kakak saya.”

“O… begitu! Ehm… cirri-cirinya, orangnya tinggi, lumayan putih, e… apalagi ya…? O… iya! Di bahunya ada tanda lahir berwarna putih mirip-mirip bintang gitu.”

“APA, BU?! Itu kakak saya, Bu! Alhamdulillah ya Allah! Engkau telah mengabulkan doa hamba! Terus rumah ibu dimana? Saya mau ketemu sama kakak saya, Bu! Saya udah kangen banget sama dia!” kumerasakan kegembiraan yang tak terhingga saat ini. Bayangin aja! Gimana aku nggak gembira, coba?! Kakakku satu-satunya yang kupunya saat ini yang selama ini hilang telah ditemukan. Walaupun dia nggak ingat sama aku, yang penting aku bisa melihat wajahnya.

“Aduh, maaf ya, Nak! Dia sudah pergi sebulan yang lalu. Ibu nggak tahu dia kemana.”  Kata-kata itu bagai petir yang menyambar tubuhku. Kenapa ini harus terjadi? “Aduh, Nak! Ibu sudah sampai, Ibu duluan ya!” setelah pamit padaku Ibu itu turun dari bus. Namun, aku hanya bisa menjawab pamitannya itu dengan senyuman tipis.

***

Aku berjalan dari halte pemberhentianku ke rumah Nicky. Untung saja Nicky ada di rumah, kalo nggak sial banget hidupku hari ini. aku menceritakan semua kisah yang kualami ketika di bus tadi pada Nicky. Ia bingung, karena ia sama sekali nggak tahu problema hidupku.

“Maksud lo apa sih? Gue nggak ngerti!”

“Jadi gini, dua bulan yang lalu, gue masih tinggal bareng keluarga gue. Nah, waktu liburan, kami pergi main arung jeram. Waktu lagi asik-asiknya, tiba-tiba perahu karet yan kami naiki terdorong cepat dan terbawa arus, kami tidak bisa mengendalikannya. Akhirnya kami sampai di tempat yang berbahaya. Karena tak bisa menahan arus yang sangat kuat, kami terjatuh ke bawah sungai yang sangat tinggi. Ya… kami jatuh dari air terjun. Gue nggak tahu apa yang terjadi sama orang tua gue.Yang gue tahu gue terdampar di sebuah batu.

“Terus, kok lo bisa tinggal sama Joe?”

“Nggak tahu! Waktu gue sadar, gue udah ada di rumah sakit dan BoNyoknya Joe udah ada di sana. Mereka bilang, mereka itu, sohib deketnya BoNyok gue. Terus mereka minta gue tinggal dirumah mereka, sedangkan rumah gue dikontrakin. Menurut mereka kalau gue tinggal sendiri, nggak ada yang bisa ngurus gue. Padahal selama ini, mereka sama sekali nggak ngurus gue.”

“Lho! Emangnya, BoNyok lo kemana?”

“BoNyok gue…” aku terdiam sejenak untuk memikirkan wajah orang tuaku. Betapa aku merindukan mereka. “Hhm… BoNyok gue udah pergi ke langit yang luas.” Kataku sambil tersenyum. senyum yang membendung tangisan rindu.

“Maafin gue ya…?! Guenggak bermaksud…”

“Biasa aja, lagi! Gue harus bisa nerima ini semua! Walaupun gue sedih, mereka nggak kan kembali kehadapan gue lagi kan? Tapi, sekarang gue lagi sedih banget. Bukan karena mereka, tapi karena kakak gue yang hilang. Polisi nggak berhasil menemukannya. Padahal mereka udah mencarinya selama dua bulan.

“Lo yang sabar ya…! Gue yakin! Lo pasti bakal ketemu sama kakak lo!” Nicky berusaha menghiburku. Namun itu sama sekali nggak merubah perasaanku yang sedih. “Ehm… jangan-jangan, lo mau ketemu sama kakak gue karena lo berharap dia kakak lo?”

“E… iya, Nick! Gue cuma…”

“Tenang aja, gue ngerti kok!” potong Nicky yang membuat perasaanku sedikit lega. “Lo punya fotonya nggak?”

“Oh, ada!” aku mengeluarkan dompet dari kantong rokku dan memperlihatkan pada Nicky wajah seorang cowok yang sedang merangkul bahuku. Aku tersenyum melihat wajah itu. Tapi aku juga merasakan perih di hatiku.

“Duuuh! Sayang banget, Fel! Kayaknya lo harus ngelanjutin pencarian kakak lo, deh! Karena wajah ini bukan wajah kakak gue, Fel!” lagi-lagi aku disamabar petir disiang bolong. Mungkin saat ini aku sudah benar-benar gosong dan sekarat.

***

Aku tidak bisa membendung air mata ini lagi. Air mataku ini meledak saat aku keluar dari rumah Nicky. Dan saat itu juga, hujan mengguyur tubuhku yang masih memakai seragam sekolah ini. Aku berlari menantang tetesan air yang turun dari langit. Terus berlari tanpa tujuan. Sampai akhirnya aku capek untuk berlari. Aku terduduk di salah satu trotoar jalanan Kota Padang yang biasanya rame, sekarang mendadak lengang karena hujan. Aku capek untuk berlari! Karena sejauh apapun aku berlari, masalah ini akan terus mengejarku. Apa yang harus kulakukan? Aku ingin masalah ini selesai sekarang juga!

“KAK AJIIII! KAKAK DIMANA, KAK? AKU KANGEN SAMA KAKAK! AKU PENGEN KETEMU SAMA KAKAK!” aku berteriak sekeras-kerasnya. Berharap Kak Aji mendengar teriakanku. Tapi aku yakin, sekencang apapun aku berteriak, mustahil Kak Aji bisa mendengarnya.

Tapi, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang berlari menuju kearahku. Aku menoleh kearah datangnya suara itu. Aku tak bisa melihat wajahnya. Tapi jelas terlihat bahwa orang itu laki-laki.

“Hei! Lo Felice adik angkatnya Joe kan? Ngapain hujan-hujan disini? Ayo ikut gue! Gue anterin lo pulang!” tangan Gilang meraih tanganku yang menggigil kedinginan. Aku bingung. Aku tak menepis pegangannya itu. Aku malah merasa nyaman ada di sampingnya. Padahal biasanya aku tidak pernah mau disentuh laki-laki yang bukan muhrimku. Dia membawaku ke mobilnya dan mengantarku pulang.

“Lo kenapa sih? Hujan-hujan gini malah duduk sanatai-santai ditrotoar? Kalo sakit kan ngerepotin orang! Untung ada gue! Kalo nggak, bisa pingsan di tengah jalan lo!” omelnya ketika di perjalanan menuju rumah Oom Andi. Gila! Nih orang cowok atau cewek sih? Ngomelnya panjang banget!

“Si… siapa yang santai-santai di ditrotoar? Kayak nggak ada tempat lain aja buat santai-santai!”

“Terus, kalo nggak santai-santai lo ngapain tadi?”

“Mau tahu aja!” tak terasa kami telah sampai di depan rumah. Aku langsung turun dan membuka gerbang rumah. Ketika sampai di teras, tiba-tiba kepalaku sakit sekali. Sampai-sampai pandanganku kabur dan aku tersandung batu. Gilang spontan meraih tubuhku. Namun… O… o…!

“HAAACHI!” aku bersin tepat di depan muka Gilang. Aku nggak sadar akan itu. Tapi setelah melihat wajahnya yang meringis terkena… Ya Allah! Aku jorok banget sih! “Eh, ya ampun! Sorry ya? Gue nggak sengaja! Beneran!” langsung saja aku mengambil tisu dari tas sampingku dan mengelapi wajah Gilang. Saat itu kami beradu pandang. Aku merasa sangat mengenal sorotan mata itu. Sorotan mata yang damai dan menyimpan sejuta kehangatan. Aku sangat menikmati saat itu dan sepertinya Gilang merasakan hal yang sama. Waktu serasa terhenti menunggu selesainya saat itu. Tapi di antara aku dan Gilang tak ada yang mau menyudahinya. Sampai-sampai harus Joe yang turun tangan. Kami tidak sadar rupanya Joe telah memperhatikan kami sejak tadi dari depan pintu rumah.

“Heh! Yang lagi berduaan! Sampai kapan mau berdiri di situ?!” aku kaget dan jadi salting ketika mendengar teriakan Joe. Tapi ada yang aneh. Aku melihat hawa marah di raut wajah Joe. Aku mengenyahkan perasaan aneh itu dan langsung masuk ke dalam rumah.

“Woi! Basah kuyup kayak gitu mau masuk rumah! Mau ntar lo gue suruh ngepel?” setelah berkata seperti itu, Joe pergi mengambil handuk dan memberikannya padaku dan Gilang. Setelah mengelap badanku yang basah barulah aku masuk ke rumah dan langsung ke kamar. Padahal bajuku masih basah dan telah membuat sepanjang lantai yang kulewati tertetesi air.

***

“Kenapa lo bisa sama Felice? Basah kuyup kayak gitu lagi!” Tanya Joe menyelidik. Sepertinya ia marah. Kenapa ya? Apa…? Ah! Nggak mungkin! Pasti dia cuma menganggap Felice sebagai adik angkatnya. Tapi dia nggak pernah baik tuh sama Felice.

“Jadi gini, tadi kan gue mau balik ke rumah, terus gue ngeliat dia lagi duduk di trotoar jalan sambil hujan-hujanan. Ya udah, gue antar aja dia balik. Mungkin dia nggak ada ongkos pulang!” jawab Gilang menceritakan kejadian tadi. Tapi yang nggak ada ongkos pulang itu salah lho! Kalian tahu sendiri kan, kenapa Felice hujan-hujanan?

“Lo yakin cuma itu yang terjadi?” Joe meragukan pengakuan Gilang.

“Emang lo pikir, gue ngapain sama Felice?” kata Gilang sedikit marah. Sepertinya ia tidak suka dicurigai seperti itu. Belum sempat Joe menjawab, tiba-tiba aku datang dari arah dapur dengan membawa tiga cangkir coklat hangat.

“Dingin-dingin gini enaknya minum yang anget-anget lho!” kataku sambil meletakkan cangkir-cangkir itu di depan Joe, Gilang dan aku sendiri.

“Ngapain lo kesini? Sana masuk!” bentak Joe. Nih anak udah dibuatin coklat hangat bukannya terimakasih, malah marah-marah.

“Lo kenapa sih? Emang kenapa kalo gue disini? Salah?”

“Iya! Sangat salah!”

“Bodo’! Hhh…!” aku membiarkan Joe ngomel-ngomel sendiri. Aku sudah sangat terbiasa dengan keadaan ini. Tapi aku bingung lho! Kenapa dia hobi banget marah-marah sama aku? “Ehm… makasih ya! Tadi lo udah nolongin gue. Tapi gue juga minta maaf sama kejadian di teras tadi!” kataku pada Gilang.

“Tenang aja kali! Gue orangnya murah hati kok! Jawab Gilang dengan senyuman yang sangat indah. Lagi-lagi aku merasa, aku mengenal senyuman itu. Sepertinya senyuman itu sering kulihat. Tapi dimana? Aku terdiam sambil terus memandangi senyuman itu. Aku berusaha mengingat-ingat sesuatu tentang senyuman itu. Tiba-tiba wajah Kak Aji melintas di benakku. Aku tersentak kaget. “Kak…”

“Heh! Minta maafnya cukup! Masuk lo sana!” potong Joe dengan sedikit membentak.

“Iya! Iya!” jawabku. Aku capek meladeni Joe. Aku membawa cangkir coklatku menuju kamarku.

Aku duduk di beranda kamarku sambil memperhatikan setiap tetesan air hujan yang jatuh dari atap rumah. Aku teringat kembali pada kejadian di teras tadi. Sekarang aku tahu mengapa aku serasa mengenal senyuman, sorotan mata dan tidak mengelak sentuhannya. Karena aku merasakan hawa Kak Aji di tubuh Gilang. Jangan-jangan dia memang Kak Aji. Tapi wajah itu sangat berbeda dengan wajah Kak Aji. Apa ini? Mengapa aku mersakan ini? Aku merasa nyaman dan damai saat berada di samping Gilang. Sebenarnya apa yang kurasakan ini?

Hujan mulai reda. Aku melihat Gilang keluar pagar rumah dan mau menaiki mobilnya. Tiba-tiba… ia melihat ke arah berandaku. Dan pandangan kami betemu lagi. Dia tersenyum padaku, aku pun membalas senyumannya. Lalu ia menaiki mobilnya dan sejenak kemudian mobil itu telah melesat jauh. Entah kenapa saat itu kumerasa kehilangan. Kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Aku pun menangis.

***

“Joe! Bukain pintunya donk! Gue mau curhat nih!” terdengar suara Shila dari arah pintu kamar Joe.

“Ah! Berisik lo! Sana-sana! Gue lagi pusing nih!” bentak Joe pada adiknya yang sedang menunggu di balik pintu kamarnya.

“Joe, Please!”

“Kalo gue bilang nggak! Ya nggak! Gue juga lagi banyak masalah nih!” Shila tertunduk mendengar perkataan Joe. Sepertinya ia memang sedang mebutuhkann seseorang untuk mendengarkan ceritanya. Aku kasihan melihat Shila. Lalu aku menghampirinya.

“Shil, kayaknya lo lagi sedih banget deh! Ada apa? Cerita aja! Siapa tahu gue bisa Bantu lo! Gue siap kok dengerin cerita lo.” Kataku berusah menghibur Shila.

“Eh! Lo nggak usah sok baik deh sama gue! Gue nggak butuh lo! Kalo gue cerita sama lo, yang ada kepala gue tambah pusing!”

“Hhh…! Ya udah, gue ke dapur ya! Mau bantuin Mbok masak buat makan malem.” Kataku pamit seraya berjalan menuju dapur.

“Felice!” Shila mencegat langkahku dengan suaranya yang bergetar menahan tangis. Aku bebalik ke arah Shila. Tiba-tiba, dia langsung memelukku dan menghujaniku dengan air mata yang tak terbendung lagi. Akhirnya aku membawa Shila ke taman. Menurutku suasana di sana cukup tenang dan damai. Karena, debu-debu yang ada di udara sudah disapu bersih oleh hujan. Dan disana banyak tumbuhan yang menyegarkan.

Shila mulai bercerita. Ternyata ia sedang ada masalah dengan sahabatnya. Mereka menyukai laki-laki yang sama dan bersaing untuk memperebutkan laki-laki itu. Awalnya, Shila sangat membenci sahabatnya itu. Wajar saja, Shila kan orang yang egonya tinggi. Namun saat ini, ia sangat merindukan kehangatan dan kebersamaan dengan sahabatnya. Shila tidak mau minta maaf duluan, karena ia gengsi. Tapi, ia juga sedih dengan ini semua.

“Shil! Lo harus buang jauh-jauh tuh rasa gengsi! Rugi, kaleee! Hari gini masih gengsi, nggak jaman lagi, Non! Mendingan lo cepet-cepet minta maaf deh, sebelum persahabatan kalian benar-benar hancur!“ nasehatku pada Shila.

“Tapi, Fel! Kalo dia nggak maafin gue, gimana? Gue kan malu!”

“Shil! Kalo dia bener-bener sobat lo, dia pasti ngerasa hal yang sama kayak lo! Jadi lo nggak usah takut! Ok?!”

“Ok! Tapi, gimana sama cowok yang kami taksir?”

“Shila! Di dunia ini, cowok bukan dia doank! Relain aja tuh cowok buat sobat lo! Lagian belum tentukan tuh cowok suka sama sobat lo?! Aku terdiam sejenak menunggu jawaban Shila. Ia hanya menjawab dengan anggukan. “Lagian, Shil! Malu kaleee kalo cewek yang ngejar-ngejar cowok. Rendah banget tuh kayaknya martabat si cewek. Apalagi sampai ngeretakin persahabatan. Rugi, Shil!”

“Hhh…! Ya udah deh kalo gitu, gue harus minta maaf besok sama dia!” Shila bertekad dengan semangat.

“Ehm, Shil! Gue boleh minta tolong nggak sama lo?” tanyaku takut-takut. Aku takut kalau tiba-tiba sikap egois Shila muncul lagi.

“Ehm… karena lo udah bantuin gue, gue mau bantuin lo. Emang lo mau minta tolong apa?”

***

“Aduh, Fel! Kita udah keliling-keliling Padang, tapi Si Aji nggak ketemu juga.” Keluh Shila saat kami sedang beristirahat di pinggir jalan daerah Lubuak Buayo sambil menikmati es cendol khas Padang yang dicampur emping. Kami sampai disini karena kemarin aku minta tolong di temenin sama Shila keliling-keliling Padang buat cari Kak Aji. Udah capeknya nggak ketulungan, tapi hasilnya nihil! Bayangin aja! Kami start dari rumah di derah Prumnas Belimbing, terus sampai ke Pasar Steba, nah, sekarang udah nyampe di Lubuak Buayo. Bagaikan dari timur ke barat dan dari selatan ke utara. Ya… walaupun pake mobil, tapi kan keliling-keliling capek juga!

“Ya udah deh, Shil! Kita balik aja! Mungkin rejeki gue belum hari ini. tapi, besok-besok lo masih mau kan nemenin gue cari Kak Aji?”

“Gampang! Bisa diatur! Ehm… gue laper nih! Kita makan dulu yuk di Minang?”

“Boleh! Asal lo yang traktir!”

“Dasar! Maunya yang gratisan aja!” kami tertawa renyah saat itu. Nggak nyampe lima belas menit, kami udah sampe di Minang Plaza. Maal pertama dan terbesar di Padang saat ini. kami makan di salah satu café di samping Texas Chiken. Waktu lagi asik-asiknya makan, tiba-tiba ada seorang cowok nyamperin kita. Tahunya Si Gilang. Gileee dia cakep banget hari ini. pake T-shirt warna putih, levis longgar warna biru tua, kaca mata warna hitam-putih and rambutnya yang digayain keren banget.

“Boleh gabung nggak?” tanyanya padaku.

“Oh… boleh! Boleh!” jawabku sedikit gagap. Duuuh ketahuan nih saltingnya. Lho! Kok aku salting sih? Nggak tahu ah! Gelap! Siang bolong kayak gini dibilang gelap! Kayaknya aku emang rada-rada gila deh hari ini.

Gilang duduk di sampigku. Dahinya mengernyit melihat Shila. Lalu matanya melihat kearah yang lain seperti sedang mengingat-ingat seuatu. Sedangkan Shila heran melihat Gilang. Mungkin ia berpikir “Nih orang asal nyelonong aja!” he…he…he… untuk mencairkan suasana aku memperkenalkan mereka berdua.

“Shil! Kenalin ini Gilang, temennya Joe! Kataku pada Shila sambil menunjuk Gilang. Shila tersenyum pada Gilang. Gilang pun membalas senyumannya. “Lang, lo tahu Shila kan?”

“Ya… gue emang pernah liat fotonya, tapi baru kali ini ketemu orangnya.” Jadilah hari itu aku bertemu dengan Gilang bukan dengan Kak Aji.

***

Widiiih! Gila banget hari ini! Udah tadi berdiri lama banget waktu upacara bendera, sekarang disuruh belajar kimia. Lengkap sudah penderitaan! Tapi selama pelajaran aku nggak bisa konsen. Pikiranku malah melayang ke Gilang. Nggak tahu kenapa semenjak peristiwa di teras rumah Joe, aku jadi kepikiran Gilang terus.

“Felice!” suara Pak Endang mengagetkanku dari lamunan. “Sedang apa kamu?”

“E… lagi perhatiin pelajaran, Pak.” Jawabku asal.

“Hhh…!” guru itu tersenyum sinis. “Kalau begitu coba kerjakan nomor satu!” perintahnya ingin mengetesku. Huuh! Untung saja aku belajar tadi malam. Jadinya aku bisa deh ngerjain soal itu. Belum selesai aku mengerjakan soal, bel tanda istirahat berbunyi. Pak Endang pun menutup pelajaran kemudian berlalu ke kantor.

Aku melihat Nicky melirik ke arahku. Itu tandanya ia mengajakku ke kantin. Aku membalas lirikannya dengan senyuman. Semenit kemudian, kami sudah sampai di kantin dan duduk di bangku favorit kami yang kebetulan kosong. Kami suka bangku ini karena, tempatnya paling pojok. So, kalo mau curhat, nggak kan ketahuan orang lain.

“Nick, gue lagi bingung nih!”

“Bingung kenapa lo?”

“Gue punya temen cowok. Dia tuh baik banget. Bingungnya gue, kalo gue ada di samping dia, gue tuh ngerasa nyaman, damai, pokoknya gimana… gitu! Tapi kalo dia pergi, gue ngerasa kehilangan.” Pengakuanku pada Nicky.

“Waduuh! Itu namanya lo lagi jatuh cinta sama tuh cowok! Gila! Hebat banget tuh cowok bisa naklukin hati lo! Hebat! Hebat!” teriak Nicky seolah-olah kiamat akan datang sebentar lagi. Untung aja nggak ada yang denger. Kalo ada yang denger, malu banget nih gue.

“Tapi, Nick! Gue ngerasa ada hawa Kak Aji di dirinya!”

“Haaah? Waduh! Kalau gitu gue nggak tahu tuh! Gimana ya…?”

Ternyata bukan hanya aku dan Nicky saja yang sedang bingung masalah hati. Tapi juga Joe dan temannya yang bernama Rei. Joe juga sedang curhat masalah hatinya. Lebih tepatnya masalah cinta.

“Menurut lo gimana tuh, Bro?” Tanya Joe pada Rei.

Bro! kalo lo suka merhatiin tuh cewek, suka salting kalo deket dia, and marah kalo dia deket-deket sama cowok lain, itu tandanya lo suka sama doi, Bro!” jawab Rei menyumbangkan pendapat ynag diminta Joe. Meluncurlah dari mulut Rei syair lagu yang dinyanyikan oleh Afgan dalam album perdananya yang berjudul I Love You.

“Eh, Kunyuk! Diem lo! Sakit kuping gue dengernya! Ehm…tapi masa gue suka  sama dia sih?!”

“Emang kenape…?”

“Ya… aneh aja! E… terus menurut lo, gue harus gimana?”

“Tembak, bego!”

“Tembak? Pasti ntar dia nolak! Dia tuh bukan cewek biasa, Bro! Dia jilbaber!”

“Gampang aja, Bro! jilbaber jaman sekarang, beda sama yang dulu! Yang sekarang nih ya…! Hampir nggak ada bedanya sama cewek-cewek biasa!”

“Ngasal lo! Yang ini jilbaber sejati! Jangankan gue sentuh, natap mata gue aja nggak pernah! Kalau pun natap, pasti lagi marah besar!”

“Ah, lembek lo! Coba dulu baru tahu hasilnya! Kalo nggak dicoba mana tahu!”

***

Siang yang sangat-sangat panas. Apalagi kalo naik bus kota, pasti sesak napas. Abis bau keringat semua. Andai ada seorang pangeran berkuda dateng ke aku dan menawarkanku menaiki kudanya dan mengantarku pulang. Wuuuh romantis banget tuh! Eh tapi nggak boleh! Dosa! Kan belum nikah! He…he…he… tapi tiba-tiba, ada sebuah mobil sedan berwarna biru yang berhenti tepat di depanku. Pemilik mobilnya keluar. Dan ternyata… Oh My God! Ternyata orang itu Joe! Ngapain dia ke sini?!

“Lo mau kemana?” Tanya Joe sedikit galak. Tapi dikit aja.

“Ya… ke rumah lah! Emang mau kemana lagi?!” jawabku ketus.

“Ya udah kalo gitu naik!”

“Kenapa harus bareng lo?! Gue mau balik sendiri!” ih! Dasar ngeyel! Tadi minta pangeran datang. Tapi, sekarang pangerannya udah datang, malah nggak mau! Gimana sih? Dasar plin-plan! Tapi, wajar aja aku nolak! Abis yang datang bukan pangeran! Melainkan, MONSTER!

“E… gue disuruh nyokap jemput lo! Katanya ada yang mau diomongin! Penting! Jadi harus cepet! Udah lah! Naik aja! Susah banget sih!” mendenger alasannya itu, aku jadi luluh juga. Ya… hitung-hitung ngemat ongkos plus nggak sumpek kayak di bus kota. Mobil Joe melesat dengan sangat cepat. Saking cepatnya udah kayak jet aja! Tapi untung aja aku sampai di rumah dengan selamat.

“Lho! Kok rumahnya sepi sih? Mana Tante sama Oom? Mobilnya kok nggak ada? Lo bohong ya sama gue?” tanyaku pada Joe.

“E… tadi kayaknya nyokap nelpon gue bukan di rumah, mungkin masih di jalan,” jawab Joe gugup. Keliatan banget bo’ongnya. Tapi aku positive thinking aja. Aku turun dari mobil dan membuka pintu rumah. Aku langsung menaiki tangga mau ke kamarku yang berada tepat di samping kamar Shila. Namun, tiba-tiba Joe memanggilku.

“E… Felice! Gue mau ngomomng sama lo!”

“Ngomong apa?”

“Ehm… tapi nggak di sini, di taman aja.”

“Kalo lo emang mau ngomong, ya udah ngomong aja! Nggak penting tempatnya dimana kan?”

OK!” Joe terdiam sejenak. Ia mengambil nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan. Waduh, nih orang! Udah kayak apa aja! “E… lo…  e… bukan! Bukan! Bukan!” diam lagi. Emang nih anak mau ngomong apaan sih? “E… gue… gue boleh nggak jadi pacar lo?” Katanya dalam waktu lima detik. Aku tersentak kaget mendengar itu. Napasku turun naik nggak beraturan. Keringatku mulai bercucuran. Aku ingin mengucapkan sesuatu, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutku. Mulutku cuma mangap-mangap nggak jelas. Tapi akhirnya, aku mengambil nafasku dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan.

“Joe!” aku terdiam sejenak. “Sorry! Gue nggak bisa! Di dalam Islam, nggak ada yang namanya pacaran. Sekali lagi, sorry ya!” aku meninggalkan Joe sendiri terpaku di balik pintu kamarku. Aku menjatuhkan diriku di atas kasur. Dan menagis sejadi-jadinya. Entah mengapa aku menagis, tapi aku ingin menangis saat ini. Ya… karena aku pun menyukai Joe. Tapi, aku harus menjaga Izzahku sebagai perempuan! Ya… harus! Harus!

***

“Pa! Gimana ini, Pa? Perusahaan kita itu… aduuuh! Kayaknya nggak bisa ngejamin kuliahnya Joe nanti deh, Pa! Apalagi Shila! Huuuh! Pusing Mama, Pa!”

“Ma! Mama tenang aja! Asal Mama rawat Si Felice dengan baik, kita bisa hidup tenang sampai semua tanggung jawab anak-anak lepas dari kita.”

“Oh… iya! Mama lupa kita punya anak itu. Mama nggak akan sia-siain dia, Pa! Masa kita udah susah-susah ngebunuh orang tuanya, terus duitnya kita biarin aja! Aduh, Pa! rugi banget tuh!”

“Iya, Ma! Bukannya tujuan kita dari awal memang itu?! Kita bunuh orang tuanya, kita adopsi anaknya, terus kita ambil harta warisannya yang banyak itu! Ha…ha…ha…” terdengar suara tawa mereka yang memekakkan telinga. Dan ternyata mereka tidak sadar, apa yang mereka katakan terdengar jelas olehku dari balik pintu kamar mereka.

“O…! Jadi Oom Andi dan Tante Rica yang telah ngebunuh Mama dan Papaku?! Ternyata benar dugaan gue selama ini! Kami bukan kecelakaan saat itu! Tapi dicelakakan! Biadap kalian! Kalian bunuh orang tua gue demi harta! Kurang baik apa sih, nyokap, bokap gue sama kalian? Kurang baik apalagi? Kalian pisahin gue dari orang tua gue! Kalian pisahin gue dari kakak gue! KURANG AJAR KALIAN! BIADAB KALIAN! Mungkin gue emang nggak bisa ngebalas kalian! Tapi gue yakin! Allah pasti ngebalas kalian semua! HANCUR LO SEMUA!” aku begitu marah saat mendengar semua yang mereka katakan dengan begitu entengnya. Mereka yang pisahin aku dari keluargaku! Padahal aku udah menganggap mereka sebagai pengganti orang tuaku. Tapi ternyata, mereka adalah pembunuh orang tuaku!

“Felice! Nggak sopan banget sih lo! Lo tuh lagi ngomong sama Bokap, Nyokap gue!” kata Joe yang datang tiba-tiba tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Eh! Untuk apa gue sopan sama orang yang udah ngebunuh orang tua gue dan misahin gue dari kakak gue! HAAA?! UNTUK APA?!”

“APA?!” Joe sangat kaget mendengar itu. Di matanya telah tampak api kemarahan terhadap orang tuanya sendiri. Ia menatap orang tuanya dengan sangat tajam! Aku berlari ke kamarku. Aku mengemasi barang-barangku dan segera keluar dari tempat ini. Tapi saat itu, ada seorang bapak-bapak yang datang bertamu. Ia terkejut melihat wajahku. Aku seperti mengenalnya dan berusaha mengingat-ingat sesuatu. Ya Allah! Itu adalah pemandu wisata kami saat main arung jeram dua bulan yang lalu. Saat dimana peristiwa itu terjadi.

“LO! LO ORANG SURUHAN MEREKA KAN?! JAWAB!” bentakku pada bapak-bapak itu sambil menunjuka pada dua orang yang bejat yang ada di belakangku yang ketakutan kedoknya terbuka.

“I…iya, Non! Non! Non! Masih hidup?”

“Iya! Kenapa? Lo takut gaji lo dipotong? “

“Ng… nggak, Non!”

“Kalo gitu, lo certain sama gue, apa yang terjadi sebenarnya!” bentakku lagi.

“E… waktu itu, saya di bayar buat mencelakakan keluarga Non! Saya membocorkan perahu karet dan mendorong perahu itu sekuat-kuatnya ke air terjun. Dan…”

“Dan semuanya jatuh! Bodoh lo! Mau lo ngelakuin pekerjaan biadabsss kayak gitu!” potongku. Aku tak sabar lagi berada di rumah itu. Aku segera berlari keluar dengan membawa barang-barangku.

“Felice! Lo mu kemana? Gue anter ya?” Joe mencegat langkahku. Melihat wajahnya membuatku ingat pada Kak Aji. Dan membuatku ingat pada orang tuaku. Aku sangat kesal! Aku tak bisa lagi membendung air mataku.

“Joe! Lo sayang kan sama gue? Kalo gitu, gue pinjem mobil lo ya? Tenang aja! Gue bakal balikin kok!” kataku dengan tenang walau berurai air mata.

“Emangnya lo mau kemana? Biar gue antarin aja ya?”

“Lo mau nggak pinjemin?”

“Nih!” Joe memberikan kunci mobilnya. Aku segera mengambilnya dan melesat pergi tanpa tujuan. Saat ini yang ada dalam benakku hanya ingin pergi jauh. Jauh dari kebencian yang membayangiku dan menemukan Kak Aji. Hanya itu! Ya Allah tolong hambamu ini!

Aku membawa mobil ini dengan kecepatan maksimal dan tak terkendali. Aku tak lagi memikirkan keselamatanku. Tapi yang ku pikirkan adalah dimana tempat terjauh dari dunia ini? ketika di persimpangan, aku tak melihat sebuah motor sport melaju kencang di depanku. Dan… Praaang!

***

Ketika kumembuka mataku. Hal pertama yang telihat adalah atap yang berwarna putih. Lalu wajah menyebalkan itu. Ya… wajah Joe! Apa yang terjadi tadi? Peristiwa kecelakaan itu terputar kembali di benakku seperti film dokumenter yang sedang diputar. Aku ingin bangun dari tempat tidurku. Tapi aku langsung meringis kesakitan. Ternyata tanganku patah dan kepalaku di perban.

“Fel! Lo udah sadar?” Tanya Joe. Sepertinya ia sangat bahagia melihat mataku terbuka.

“Hhh…! Joe! Gimana keadaan orang yang gue tabrak?” tanyaku tanpa memikirkan keadaanku sendiri.

“Dia… Dia…meninggal, Fel!”

“APA?” aku menangis mendengar ucapan Joe. Ternyata, dengan kemarahanku aku bisa membuat nyawa seseorang pergi dari tubuhnya. Ya Allah! Maafkan hambamu ini. Hamba tak pernah berniat untuk melakukan ini semua. Ya Allah betapa beratnya cobaan yang kau berikan pada hambamu ini Ya Allah. “Joe! Tolong anterin gue ke sana donk! Gue masih bisa kan ngeliat dia?” Joe menjawab dengan anggukan yang sepertinya dipaksakan. Aku nggak tahu apa alasannya. Yang jelas sekarang aku mau ngeliat dulu orang yang kutabrak. Aku sampai di sebuah kamar yang tidak terlalu jauh dari kamar perawatanku.

Betapa kagetnya aku ketika melihat seorang cowok yang tergeletak tak berdaya di ranjang itu adalah GILANG! Ya Allah kenapa semua bisa jadi seperti ini. aku melihat Nicky menangis tersedu-sedu di pinggir ranjang. Ternyata kakak angkat Nicky adalah Gilang. Aku yang telah membuatnya menangis seperti itu.

“Fel! Coba lo singkap sedikit selimut yang nutupin tubuh Gilang.!” Aku tak menanyakan kenapa. Langsung saja aku melakukan apa yang dipinta Nicky. Saat aku membukanya aku melihat tanda lahir putih berbentuk seperti bintang. Betapa kagetnya aku saat itu. Gilang yang kukenal selama ini ternyata adalah Kak Aji. Orang yang selama ini aku cari, ternyata adalah orang yang selama ini dekat denganku. Aku sama sekali tidak bahagia ketika menemukannya. Karena sekarang ia terbujur kaku tidak berdaya.

“KAK AJIII” aku membiarkan air mataku bercucuran membasahi pipiku dan mengiris hatiku. “Kak! Lebih baik nggak usah ketemu sama kakak, kalo aku harus bertemu kakak dakam keadaan kayak gini! KAK AJIIII!”

Selama ini, bintangku selalu ada di sampingku. Tapi aku tak pernah menyadarinya. Dan sekarang, aku telah menemukan bintangku, dalam keadaan tak bercahaya lagi.

***

3 thoughts on “Where is My Star ?

  1. Nana berkata:

    Good story…..

Tinggalkan komentar

Masukkan alamat surat elektronik Anda untuk mengikuti blog ini dan menerima pemberitahuan tentang tulisan baru melalui surat elektronik.

Bergabung dengan 298 pelanggan lain

About Me


About gue??
Hmm, gue sering dibilangin kuper lah, pendiam lah, culun lah..terserah apa kata orang..
Gue ya gini,.cowok melankolis apa adanya..gue selalu berusaha untuk mempelajari sesuatu & berbuat yang terbaik untuk siapa saja, kapan saja, dan dimana saja..asal bisa nyenengin..